MAKKAH AL MUKARROMAH

JABAL TSUR

Sejarah Jabal Tsur

HISTORY IN SAUDI ARABIA

JABAL NUR

Sejarah Jabal Nur

JABAL RAHMAH

Sejarah Jabal Rahmah

SEJARAH JABAL TSUR 

Pada tahun 622 Masehi, Rasulullah dan para sahabatnya merencanakan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Hijrah ini dilakukan karena mereka menghadapi ancaman serius dari kaum kafir Quraisy yang menentang agama Islam.

Perjalanan hijrah tidak berjalan lancar karena rencana mereka tercium oleh musuh, yang kemudian mengejar mereka dengan tujuan membunuh Rasulullah. Meskipun dalam bahaya, Rasulullah dan para sahabatnya terus berjuang untuk menyelamatkan diri. Ketika mereka dikejar di sekitar Jabal Tsur, Rasulullah menemukan Gua Tsur, tempat beliau dan sahabat bersembunyi selama tiga hari tiga malam.

Keajaiban terjadi ketika musuh yang mengejar mereka tiba di depan gua, dan secara ajaib, gua tersebut dilindungi oleh sarang laba-laba yang menutupi mulut gua dan sarang burung merpati. Pertolongan Allah SWT dalam bentuk sarang-sarang tersebut menjadi bukti nyata keajaiban yang melindungi Rasulullah dan para sahabatnya selama perjalanan hijrah mereka yang berbahaya.

SEJARAH JABAL NUR 

Nama Jabal Nur berarti “gunung yang bercahaya”. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kerap mengunjungi Jabal Nur, tepatnya di dalam Gua Hira. Di sana beliau menyendiri dan menenangkan pikiran dari kerusuhan kota Makkah.

Pada saat menyendiri, datanglah malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyampaikan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setelah wahyu pertama turun, kemudian melalui serangkaian proses yang panjang, Muhammad menjadi nabi dan rasul sampai Isra dan Mi’raj.

Wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini merupakan titik awal cahaya Islam yang terus menerus benderang sampai sekarang ini. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan wahyu-Nya mampu memberantas kegelapan dan kesesatan yang saat itu, sampai akhir zaman, merajalela di muka bumi.

Maka tak heran, umat Islam menyebut gunung yang biasa dibuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyendiri dan menerima wahyu tersebut dengan nama Jabal Nur atau Gunung Cahaya.

SEJARAH JABAL RAHMAH

Bagi umat Islam, Jabal Rahmah atau gunung kasih sayang menjadi monumen cinta untuk 'ngalap berkah'. Tempat tersebut dipercaya menjadi lokasi bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa setelah tobat mereka diterima dan dipertemukan kembali. Buah cinta mereka melahirkan anak-anak Nabi Adam yang kini memenuhi penjuru dunia.

Di Jabal Rahmah pula, Nabi Ibrahim diuji cintanya, untuk melaksanakan ketentuan Allah mengorbankan anak lelaki yang sangat lama dirindukan kelahirannya. Di bukit itu, ia yakin bahwa mimpi yang ia alami tiga kali berturut-turut tersebut benar-benar merupakan perintah Allah swt. Pengorbanan luar biasa inilah yang membuat leluhur para nabi ini mendapat gelar khalilullah atau kekasih Allah.

Bagi Rasulullah SAW, Jabal Rahmah menjadi tempat terakhir turunnya ayat Al-Qur’an. Ketika kembali ke Madinah, Rasulullah saw menyampaikan turunnya Surat Al-Maidah ayat 3 yang mengabarkan bahwa Islam sudah sempurna. Para sahabat menyambut gembira kabar tersebut, kecuali dua orang sahabat paling utama, Sayyida Abu Bakar dan Sayyidina Umar bin Khattab yang malah bersedih.

Ketika pulang ke rumahnya, Sayyidina Abu Bakar menangis sejadi-jadinya, menyadari bahwa Rasulullah SAW, pemimpin yang sangat dicintainya tak akan membersamainya dalam waktu lama lagi. Para sahabat lain, ketika menyadari hal itu kemudian menangis bersama di rumah Sayyidina Abu Bakar. Jabal Rahmah menjadi saksi senyum bahagia atas pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa; menjadi penanda keteguhan Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian cinta dari Allah SWT dan menjadi tempat mengabarkan kesempurnaan Islam serta sekaligus petunjuk awal akan kewafatan Rasulullah.

Jabal Rahmah menggambarkan siklus hidup manusia, yang diwakili oleh para Nabi Agung. Dari pertemuan untuk memulai hidup baru, perjuangan untuk mempertahankan hidup, pencapaian kesempurnaan, hingga akhirnya pesan kematian.

ARAFAH

Sejarah Padang arafah

MUSDALIFAH

Sejarah Musdalifah

MINA

Sejarah Mina

JAMARAT

Sejarah Jamarat

SEJARAH PADANG ARAFAH

Salah satu situs suci dalam ibadah haji adalah Padang Arafah. Saat berada di lokasi ini, para jamaah diwajibkan untuk menjalani wukuf di Padang Arafah atau 'mengasingkan diri' tanpa melakukan apapun.

Dikutip dari buku 'Fikih Empat Madzhab Jilid 2' karya Syaikh Abdurrahman Al Juzairi, menurut mazhab Maliki hadir di padang Arafah adalah salah satu rukun haji yang harus dikerjakan hingga matahari tenggelam. Bila tidak dikerjakan, maka jamaah harus membayar dam.
Padang Arafah menjadi tempat bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa. Dituliskan bahwa, Nabi Adam saat diturunkan di bumi berada di Pulau Sandib atau Sri Langka dan Hawa berada di Arabia

Setelah beberapa lama saling mencari, Nabi Adam dipertemukan dengan Siti Hawa di Padang Arafah. Kisah ini pun menjadi keajaiban di Padang Arafah karena merupakan bagian penting dalam sejarah pertemuan manusia pertama dengan pasangannya.
Padang Arafah memiliki wilayah yang sangat luas. Diperkirakan luasnya mencapai 12 juta meter persegi. Kapasitasnya tecermin dari jumlah jamaah haji biasanya mencapai 2,5 juta per tahun.

Terdapat masjid di Padang Arafah bernama Masjid Namirah. Masjid ini hanya dibuka sekali dalam setahun atau saat bertepatan dengan ibadah Wukuf di Padang Arafah. Masjid Namirah bukan termasuk tempat wukuf. Walaupun begitu, seluruh padang Arafah merupakan tempat Wukuf sehingga tidak disyariatkan untuk naik ke Gunung Arafah, khususnya saat berdesak-desakan. Apalagi, kondisi Padang Arafah sekarang ditumbuhi banyak pepohonan sehingga membuat udara sejuk.

SEJARAH MUSDALIFAH

Muzdalifah bukanlah sekadar tempat istirahat biasa, tetapi juga bagian penting dari ritual haji. Setiap tahun, jutaan jamaah haji berkumpul di tempat ini setelah menjalani wukuf di Arafah, untuk mengumpulkan batu untuk melempar jumrah di Mina dan untuk melakukan sholat malam. Keberadaan Muzdalifah dalam perjalanan haji mengingatkan umat Islam akan ketaatan dan ketekunan para nabi dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Muzdalifah juga memiliki kaitan erat dengan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il dalam sejarah Islam. Konon, Muzdalifah adalah tempat di mana Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il mengumpulkan batu untuk pembangunan Ka'bah. Kisah ini mengingatkan umat Islam akan ketekunan dan kesetiaan Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il dalam menjalankan perintah Allah SWT, serta pentingnya pengorbanan dalam perjalanan spiritual.

Muzdalifah bukan hanya tempat istirahat fisik, tetapi juga tempat untuk melakukan refleksi spiritual dan introspeksi diri. Di sinilah jamaah haji memiliki kesempatan untuk merenungkan makna ibadah haji, memperbanyak doa, dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Sholat malam di Muzdalifah juga menjadi momen yang sangat berarti bagi umat Islam, sebagai bentuk ketaatan dan penghormatan kepada Allah SWT.

Muzdalifah juga merupakan simbol keharmonisan dan kesatuan umat Islam di seluruh dunia. Di tempat ini, jamaah haji dari berbagai belahan dunia berkumpul sebagai satu umat dalam menjalankan ibadah haji. Pengalaman bersama di Muzdalifah mengingatkan umat Islam akan pentingnya persaudaraan, kerjasama, dan toleransi antar sesama umat manusia dalam Islam.

Muzdalifah juga memiliki keutamaan dan kebahagiaan tersendiri dalam Islam. Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak ada hari yang lebih utama bagi manusia setelah hari Arafah dari pada hari yang baik (Al-Adha) dan Muzdalifah" (HR. Ahmad). Hadis ini menunjukkan keberkahan dan keutamaan yang terkandung di dalam tempat istirahat ini, serta pentingnya menjalankan ibadah dengan penuh kekhusyukan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

SEJARAH MINA

Salah satu peristiwa paling bersejarah yang terkait dengan Mina adalah ujian keimanan Nabi Ibrahim AS. Di tempat ini, Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Saat ujian ini berhasil dilalui dengan penuh ketundukan, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai bentuk rahmat-Nya.

Peristiwa ini menjadi asal muasal ibadah kurban yang dilaksanakan umat Islam setiap Hari Raya Idul Adha. Mina menjadi tempat simbolis di mana keteguhan iman dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah SWT diabadikan.

Melontar jumrah merupakan simbol perlawanan terhadap setan yang menggoda Nabi Ibrahim AS di Mina. Ritual ini melibatkan tiga lokasi berbeda: Jumrah Ula, Jumrah Wusta, dan Jumrah Aqabah. Melontar jumrah tidak hanya sekadar ibadah fisik, tetapi juga melambangkan komitmen umat Islam untuk menolak godaan duniawi.

Mabit, atau bermalam di Mina, adalah salah satu rukun haji yang wajib dilakukan oleh jamaah haji. Dalam waktu ini, jamaah diharuskan memperbanyak dzikir, doa, dan ibadah kepada Allah SWT.

Hari-hari Tasyriq berlangsung selama tiga hari setelah Idul Adha (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Jamaah haji tinggal di Mina selama periode ini untuk melontar jumrah setiap harinya. Hari-hari ini dikenal sebagai waktu makan, minum, dan mengingat Allah SWT.

Mina tidak hanya memiliki nilai sejarah dan spiritual, tetapi juga merupakan salah satu lokasi dengan infrastruktur terbesar untuk mendukung pelaksanaan ibadah haji.

Mina dikenal sebagai “Kota Tenda” karena keberadaan ribuan tenda yang disediakan untuk jamaah haji. Tenda-tenda ini dilengkapi dengan pendingin udara untuk memberikan kenyamanan maksimal bagi para jamaah.

SEJARAH JAMARAT

Tempat melempar jumrah berada di Jamarat, Mina, Kota Mekkah, Arab Saudi. Kegiatan yang dilakukan pada saat lontar jumrah atau melempar jumrah pada dasarnya adalah melemparkan batu kerikil pada sebuah tiang, dalam waktu, tempat, dan jumlah yang sudah ditentukan.
Arti dari melempar jumrah adalah melempari setan dengan batu atau simbol mengusir setan yang bersemayam dalam diri, yang selalu ingin menyesatkan manusia ke jurang dosa. Tujuan dari melempar jumrah yakni membersihkan hati dengan membuang atau melemparkan sejauh mungkin semua kecenderungan sifat buruk dan selalu mengingat Allah. Pasalnya, setan dapat merasa sakit dan terhina apabila umat manusia senantiasa mengingat Allah.
Nabi Ibrahim AS merupakan nabi yang membangun Kakbah, yang saat ini menjadi kiblat umat Islam di seluruh dunia. Nabi Ibrahim dikenal sebagai Bapak Para Nabi karena dari keturunannya lahir banyak nabi. Semasa hidup, Nabi Ibrahim menghadapi ujian secara bertubi-tubi dari Allah SWT.
Nabi Ibrahim baru dikaruniai seorang putra ketika usianya sudah menginjak 86 tahun. Allah pernah menurunkan perintah agar istri dan anaknya ditinggal di tanah yang tandus dan gersang, kemudian turun perintah yang lebih berat, yakni perintah untuk menyembelih putranya, Ismail, yang dinantikan kelahirannya selama beberapa puluh tahun. Tentunya berat bagi Nabi Ibrahim untuk menjalankannya, tetapi perintah Allah tersebut berusaha ditunaikan. Ketika hendak menjalankan perintah Allah untuk menyembelih Ismail, Nabi Ibrahim mendapat gangguan dari iblis. Para iblis mencoba mengganggu Nabi Ibrahim agar berubah pikiran dan tidak mematuhi perintah Allah. Iblis bahkan menampakkan wujudnya, yang membuat Nabi Ibrahim melemparinya dengan batu-batu kecil dalam upaya menyingkirkannya. Pelemparan ini terjadi tepat di posisi jumrah Ula saat ini berada.
Merasa rencananya gagal, iblis beralih menggoda istri Nabi Ibrahim, yaitu Siti Hajar. Iblis menggoda Siti Hajar agar melarang suaminya menyembelih putra kesayangan mereka. Sama seperti Nabi Ibrahim, pendirian dan keyakinan Siti Hajar juga kuat bahwa menyembelih anaknya merupakan perintah langsung dari Allah SWT, sehingga harus dilaksanakan. Siti Hajar pun melempar beberapa batu kecil ke iblis yang menggodanya. Pelemparan batu yang dilakukan oleh Siti Hajar tepat di posisi jumrah Wustha saat ini berada.
Tidak putus asa, iblis akhirnya menggoda Ismail, sebagai target terakhir. Dengan percaya diri, iblis hendak menggoda Ismail yang masih muda dan imannya dianggap masih rapuh. Ternyata, iman dan pendirian Ismail pun kuat seperti ayah dan ibunya. Ia ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya, karena percaya bahwa menyembelih dirinya merupakan perintah dari Allah SWT.

Nabi Ismail juga mengusir iblis tersebut dengan melemparinya menggunakan batu-batu kecil yang ada di genggamannya. Pelemparan batu yang dilakukan oleh Nabi Ismail tepat di posisi jumrah Aqabah saat ini berada. Itulah peristiwa bersejarah yang diabadikan menjadi wajib haji dengan melempar jumrah.

MASJID AISYAH

Sejarah Masjid Aisyah

MASJID JI'RONAH

Sejarah Masjid Ji'ronah

MASJID HUDAIBIYAH

Sejarah Masjid Hudaibiyah

TEMPAT MIQOT IBADAH UMRAH & HAJI

HISTORY IN SAUDI ARABIA

SEJARAH MASJID AISYAH

Masjid Sayyidah Aisyah merupakan tempat miqat favorit bagi umat muslim untuk melaksanakan umrah sunnah, sebab lokasinya yang lebih dekat dibandingkan dengan miqat makani yang lain. Masjid yang berlokasi di Tan’im itu hanya berjarak sekitar 7 kilometer di utara Masjid al-Haram, untuk dapat sampai ke sana hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit dengan menggunakan kendaraan umum.

Sebagaimana masjid miqat lainnya, tentu saja Masjid Sayyidah Aisyah juga menyimpan catatan sejarah Islam di masa Rasulullah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah bahwa pada tahun ke-9 Hijriyah, Nabi Saw beserta para sahabat melaksanakan Haji Wada’. Siti Aisyah berniat ihram umrah (haji tamattu’) dari miqat, namun ternyata beliau tidak bisa melakukan thawaf sampai dengan hari Arafah karena haid.

Begitu telah suci, Sayyidah Aisyah melapor kepada Rasulullah hendak mengerjakan thawaf. Kata beliau, “Anda semua telah mengerjakan umrah dan haji, sedangkan aku baru mengerjakan hajinya saja.” Lalu Rasulullah memerintahkan Abdurrahman bin Abi Bakar (saudara laki-laki Siti Aisyah) untuk mengantarkan ke Tan’im dan memulai ihramnya di sana.”

Tan’im adalah nama sebuah desa. Adapun pemberian nama Masjid Sayyidah Aisyah, hal itu ditetapkan oleh Rasulullah sendiri sebagai salah satu tempat miqat untuk ibadah haji atau umrah bagi umat muslim di sepanjang zaman. Sejak masa Nabi hingga sekarang, masjid ini sudah beberapa kali mengalami renovasi.

SEJARAH MASJID JI'RONAH

MASJID Ji’ronah digunakan penduduk Makkah sebagai tempat miqat untuk umroh. Tempatnya berada disebelah timur laut kurang lebih 24 km dari Masjidil Haram.

Miqat, dalam konteks perjalanan umroh adalah titik awal yang ditetapkan untuk para jamaah umroh memulai ihram dan niat mereka untuk menunaikan ibadah umroh.

Di antara berbagai miqat yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad adalah Masjid Ji’ronah. Masjid ini memiliki makna sejarah yang dalam dan menjadi titik miqat bagi orang-orang yang datang dari arah Madinah.

Masjid ini pun sama mengalami beberapa kali perbaikan dan yang Nampak sekarang adalah hasil pembaharuan dan perluasan oleh King Fahd bin Abdul Azis. Tempat ini memiliki luas bangunan sebesar 430 meter persegi dan daya tampungnya sebanyak 1000 jemaah. Ji’ronah adalah nama sebuah perkampungan Wadi Saraf, di tempat ini terdapat sumur yang airnya dikenal memiliki rasa tersendiri.

Menurut sebuah riwayat nama tersebut diambil dari julukan seorang wanita yang terkenal dungu, berhubungan dengan turunnya surat An-Nahl ayat 92. Setelah berlangsungnya perang Hunain pada tahun 8 Hijriah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah dengan hasil rampasan perang (ghanimah) yang cukup banyak, ia beristirahat di perkampungan Ji’ronah ini.

Dalam pembagian harta ghanimah ini, Rasulullah membagikannya kepada orang-orang yang baru masuk Islam dari kota Makkah. Sedikit pun tidak diberikannya kepada kaum Anshar, sehingga hal tersebut menyebabkan desas-desus di kalangan Anshar. Dengan bijaknya Rasulullah segera menjelaskan persoalan disertai maksud dan tujuannya yang sangat mulia, bahkan ada pertanyaan dari-Nya yang sangat mengetuk dan menggetarkan hati kaum Anshar.

Pertanyaan itu berupa, “Apakah kalian lebih suka kembali pulang bersama dengan binatang domba dan unta? Ataukah kalian memilih kembali pulang bersama dengan Rasul Allah?”. Mendengar apa yang disampaikan Rasulullah, kaum Anshar menangis tersedu-sedu seraya menjawab, “Kami ridha dan rela dengan apa yang telah engkau putuskan ya Rasulullah”.

SEJARAH MASJID HUDAIBIYAH

Hudaibiyah adalah nama sebuah daerah yang terletak antara Makkah dan Jeddah. Jarak antara Hudaibiyah dengan Makkah sekitar 38 KM. Hudaibiyah saat ini menjadi salah satu tempat miqat umrah. Di Hudaibiyah telah berdiri sebuah masjid yang menjadi tempat jamaah umrah berihram dan niat umrah.

Dalam sejarah Islam, Hudaibiyah sangat lekat dengan sebuah perjanjian “gencatan senjata” antara kaum muslimin yang dipimpin Nabi Muhammad SAW dengan Suku Quraisy di Makkah. Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada tahun 6 Hijriah. Saat itu Nabi SAW bersama 1.400 muslimin berangkat dari Madinah dengan niat umrah. Tetapi, niat itu dihalangi kaum Quraisy. Selanjutnya dilakukan perundingan antara Nabi SAW dengan kaum Quraisy.

Sepintas, isi perjanjian itu merugikan kaum muslimin. Diantara kesepakatannya adalah jika ada orang Quraisy masuk Islam, maka wajib dikembalikan ke kaumnya. Tetapi, jika ada umat Islam masuk Makkah, kaum Quraisy tidak wajib mengembalikan ke kaum muslimin. Meski terkesan merugikan, Nabi SAW menyetujui klausul ini. Sebab, diantara isi kesepakatan lainnya adalah selama 10 tahun tidak ada peperangan antara kaum muslimin dengan Quraisy. Sehingga, di masa damai itulah Nabi SAW meluaskan ekspansi dakwahnya.

Nabi SAW mengirim utusan dan surat kepada para penguasa-penguasa di Afrika, Romawi, Persia, dan kabilah-kabilah di jazirah Arab untuk diajak masuk Islam. Semua itu bisa terjadi karena tidak ada gangguan dari Quraisy karena adanya perjanjian Hudaibiyah itu. Perjanjian Hudaibiyah itu telah menjadi pintu percepatan dan perluasan dakwah Islam. Subhanallah.

MASJID BIR ALI

Sejarah Masjid Bir Ali (Dzulhulaifah)

SEJARAH MASJID BIR ALI (DZULHULAIFAH)

Masjid Bir Ali atau Masjid Miqat Dzul Hulaifah adalah tempat miqat bagi jemaah haji yang berasal dari Madinah atau melaluinya. Masjid ini terletak di tepi jalan raya Madinah Makkah, tepatnya di Distrik Dzulhulaifah, berjarak sekitar 9 km dari Masjid Nabawi. Masjid ini diberi nama Bir Ali lantaran dulunya Ali bin Abi Thalib pernah membuat sumur (bir). Dalam kisahnya, konon Ali bin Abi Thalib tidak hanya membuat satu sumur, tetapi jumlahnya banyak.

Oleh sebab itu, sebagian orang juga menyebut masjid ini sebagai Abyar atau bentuk jamak dari kata 'bir'. Namun, saat ini sumur-sumur tersebut diketahui sudah tertutup oleh bangunan-bangunan di sekitar masjid dan bangunan masjid itu sendiri. Pada masa Rasulullah SAW, dikisahkan di lokasi masjid ini terdapat sebuah pohon jenis akasia yang menjadi tempat beliau berteduh saat miqat untuk menunaikan ibadah umrah.

Di tempat tersebut kemudian dibangun menjadi masjid pada masa Umar bin Abdul Aziz tatkala memerintah Kota Madinah tahun 87-93 H. Bangunan masjid ini kemudian mengalami renovasi pada masa dinasti Abbasiyah dan dinasti Utsmaniyah di bawah pemerintahan Sultan Mehmed IV tahun 10058-1099 H.
Saat itu, Masjid Bir Ali masih berbentuk sangat kecil dan terbuat dari batu. Belum ada pula jemaah haji dan umrah yang singgah di masjid ini. Pada masa kekuasaan Raja Fahd bin Abdul Aziz, baru terjadi renovasi berupa perluasan dan peningkatan fasilitas masjid.